Beginilah Rumah Asli Orang Bandung Purba -- Beberapa kelompok manusia telah menghuni Bandung sejak 5.600 hingga 9.500 tahun lalu. Salah satu rumah mereka terletak di Gua Pawon. Mereka makan apa saja hasil hutan di sekitar gua, ikan laut, juga monyet untuk bertahan hidup. Diduga karena pola makan seperti itu, usia mereka tak panjang, hidupnya hanya berkisar 17-35 tahun. Itulah sekelumit cerita hidup manusia prasejarah dari hasil temuan kerangka lima individu di Gua Pawon, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, sejak penggalian Desember 2000 hingga sekarang.
Peneliti dari Balai Arkeologi Bandung masih mencari dan menggali artefak untuk merangkai kisah kehidupan manusia Bandung purba pada zamannya. Selagi mereka bekerja, situs Gua Pawon masih terbuka untuk disambangi pengunjung yang penasaran. Gua Pawon berada di kawasan karst atau batu kapur Citatah, di Desa Gunung Masigit, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Jaraknya sekitar 25 kilometer dari pusat Kota Bandung.
Sesampainya di sisi kanan Jalan Raya Padalarang Cianjur, atau sebelah kiri dari arah Jakarta, akan terlihat plang penunjuk situs. Dari situ, lokasi masih harus ditempuh lagi sekitar 2 kilometer. Akses jalannya menanjak dan menurun, serta masih berbatu dan akan berlumpur di musim hujan. Rumah manusia prasejarah di gua yang masih alami itu seperti hotel batu purba. Jalan masuknya cukup menantang karena kaki harus meniti batuan kapur besar yang kasar, berongga, seperti karang, namun keras. Tantangan kedua menahan sengatan bau dan menghindari kejatuhan kotoran penghuni gua, yaitu kelelawar.
Gua seluas 300 meter persegi lebih itu terdiri dari beberapa rongga seperti kamar, juga beberapa jendela alami yang besar. Jalur jalannya ke atas tempat kuburan manusia purba berada, seperti labirin. Tapi, jangan cemas bila melenceng jalur, sebab gua itu cukup terang oleh sinar matahari. Lokasi situs kerangka berada di sisi utara gua dan dipagari. Sosok berupa tulang manusia sedang meringkuk di sana itu replika hasil cetakan. Aslinya, menurut arkeolog Lutfi Yondri, kini tinggal tengkorak dan rahang di kantor Balai Arkeologi Bandung di Cileunyi. "Sisanya sudah hancur karena kondisinya sangat rapuh," ujarnya, Rabu, 15 Februari 2012.
Kerangka ditemukan dalam penggalian lanjutan oleh Balai Arkeologi pada Juli 2003. Dari hanya satu kerangka, kemudian berkembang menjadi total lima individu hingga penggalian 2009. Setelah diteliti, umurnya diperkirakan sudah 7.000 tahun. Peneliti juga memastikan kerangka itu berkelamin pria dan wanita. Usia mereka berkisar 17-35 tahun dengan gigi lengkap. "Diduga, akibat pola makannya, rata-rata usia mereka tidak sampai setua manusia sekarang," kata Lutfi.
Mayat manusia purba diperlakukan dengan dua cara oleh kelompok atau keluarganya. Pertama, diletakkan di atas permukaan tanah dalam posisi tubuh ditekuk seperti janin atau lurus. Setelah membusuk dan tinggal kerangka, kemudian dilumuri hematit atau butiran tanah merah. Setelah itu mayat dikubur. "Begitulah perlakuan budaya mereka," ujarnya.
Kisah penemuan awal situs manusia Bandung purba itu berawal dari kegiatan jalan-jalan tiga orang geolog asal Institut Teknologi Bandung dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bandung di kawasan karst Citatah pada Juli 1999. Saat itu, Budi Brahmantyo, Eko Yulianto, dan Johan Arif, berangan-angan menemukan fosil ikan di sana. Namun Eko malah mendapat batu gamping, seperti pisau, dan menduga pernah ada manusia prasejarah yang menempati lokasi itu. Dugaan itu berdasarkan ingatan mereka soal temuan artefak batu di hutan Dago Pakar oleh peneliti asing.
Fakta arkeologi sebelumnya tentang kerangka manusia prasejarah yang suka ditemukan di dalam gua. Budi teringat Gua Pawon yang lokasinya tak jauh. Namun, baru pada Oktober 1999, trio peneliti itu datang untuk pengamatan. Kunjungan berikut pada 2000, mereka mulai mencongkel tanah di beberapa tempat di dalam gua. Intuisi mereka muncul ketika berada di satu ruang di dalam gua yang tanahnya datar, tidak kering, tapi juga tidak lembap. Mereka menyebutnya sebagai Gua Kopi.
Selanjutnya, Eko meminjam alat geomagnet ke kantornya. Tanah di Gua Kopi seluas 3,5 x 7 meter itu mereka bagi menjadi kotak-kotak (grid) berukuran 50 sentimeter persegi kemudian dipindai. Ternyata hasilnya negatif logam, jadi ada kemungkinan terpendam benda non-metal.
Pada Desember 2000, berbekal izin ketua RT setempat yang juga ikut menggali, Budi, Eko, dan Sujatmiko menggali lubang seukuran 100 x 60 dengan kedalaman 50 sentimeter. Baru sekitar 10 sentimeter penggalian, tiba-tiba ada suatu benda mengkilap yang mencelat terkena pacul. Penggalian segera dihentikan. Tugas mereka mencari benda yang terlontar tersebut. Secuil potongan benda itu ternyata batu obsidian yang bentuknya seperti beling kaca. Padahal gua itu berada di wilayah karst. Mereka yakin, batu itu ada yang membawanya di masa lalu. Penggalian pun makin bersemangat. Hingga akhirnya terkumpul dua karung pecahan gerabah, alat batu, obsidian, jasper hijau, batu andesit, sisa tumbuhan, juga cangkang kemiri, siput, kepiting, serta rahang monyet.
Yang masih utuh di antaranya batuan andesit sebesar buah mangga yang dipakai manusia purba untuk menumbuk. Setelah para peneliti awal itu membentuk Kelompok Riset Cekungan Bandung pada 12 Desember 2000, penggalian selanjutnya diserahkan ke Balai Arkeologi. Budi yakin, alat dari batu obsidian itu mereka peroleh dari tempat yang jauh dari gua itu. Geolog itu mengatakan batuan tersebut diduga berasal dari daerah Nagrek yang berjarak sekitar 30 kilometer.
"Ada kemungkinan pabrik pembuatannya dulu di Dago Pakar, yang jauhnya 20 kilometer," katanya. Mereka kemungkinan telah bertransaksi dengan cara barter barang. Buktinya ada bekas hewan laut di situs itu. Adapun hewan darat bisa diburu dari sekitar gua yang dulunya dikelilingi rawa. Manusia purba leluasa mengintai karena letak gua cukup tinggi. Namun bagaimana seluruh bangunan gua itu dipakai untuk kegiatan sehari-hari, ritual, dan pemakaman, masih misteri.
Peneliti arkeologi masih berkutat menggali di sejumlah gua sekitar untuk menemukan petunjuk lain. Mereka belum bisa meneliti sekitar 37 gua lainnya di sekitar Pawon yang diduga menjadi rumah kelompok manusia prasejarah lain dan dulunya saling berhubungan. Gua Tanjung, yang diketahui menyisakan artefak dan tulang manusia, telah hancur ditambang. Para peneliti kini harus berpacu dengan izin penambangan di wilayah karst Citatah. ( tempo.co )
Peneliti dari Balai Arkeologi Bandung masih mencari dan menggali artefak untuk merangkai kisah kehidupan manusia Bandung purba pada zamannya. Selagi mereka bekerja, situs Gua Pawon masih terbuka untuk disambangi pengunjung yang penasaran. Gua Pawon berada di kawasan karst atau batu kapur Citatah, di Desa Gunung Masigit, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Jaraknya sekitar 25 kilometer dari pusat Kota Bandung.
Sesampainya di sisi kanan Jalan Raya Padalarang Cianjur, atau sebelah kiri dari arah Jakarta, akan terlihat plang penunjuk situs. Dari situ, lokasi masih harus ditempuh lagi sekitar 2 kilometer. Akses jalannya menanjak dan menurun, serta masih berbatu dan akan berlumpur di musim hujan. Rumah manusia prasejarah di gua yang masih alami itu seperti hotel batu purba. Jalan masuknya cukup menantang karena kaki harus meniti batuan kapur besar yang kasar, berongga, seperti karang, namun keras. Tantangan kedua menahan sengatan bau dan menghindari kejatuhan kotoran penghuni gua, yaitu kelelawar.
Gua seluas 300 meter persegi lebih itu terdiri dari beberapa rongga seperti kamar, juga beberapa jendela alami yang besar. Jalur jalannya ke atas tempat kuburan manusia purba berada, seperti labirin. Tapi, jangan cemas bila melenceng jalur, sebab gua itu cukup terang oleh sinar matahari. Lokasi situs kerangka berada di sisi utara gua dan dipagari. Sosok berupa tulang manusia sedang meringkuk di sana itu replika hasil cetakan. Aslinya, menurut arkeolog Lutfi Yondri, kini tinggal tengkorak dan rahang di kantor Balai Arkeologi Bandung di Cileunyi. "Sisanya sudah hancur karena kondisinya sangat rapuh," ujarnya, Rabu, 15 Februari 2012.
Kerangka ditemukan dalam penggalian lanjutan oleh Balai Arkeologi pada Juli 2003. Dari hanya satu kerangka, kemudian berkembang menjadi total lima individu hingga penggalian 2009. Setelah diteliti, umurnya diperkirakan sudah 7.000 tahun. Peneliti juga memastikan kerangka itu berkelamin pria dan wanita. Usia mereka berkisar 17-35 tahun dengan gigi lengkap. "Diduga, akibat pola makannya, rata-rata usia mereka tidak sampai setua manusia sekarang," kata Lutfi.
Mayat manusia purba diperlakukan dengan dua cara oleh kelompok atau keluarganya. Pertama, diletakkan di atas permukaan tanah dalam posisi tubuh ditekuk seperti janin atau lurus. Setelah membusuk dan tinggal kerangka, kemudian dilumuri hematit atau butiran tanah merah. Setelah itu mayat dikubur. "Begitulah perlakuan budaya mereka," ujarnya.
Kisah penemuan awal situs manusia Bandung purba itu berawal dari kegiatan jalan-jalan tiga orang geolog asal Institut Teknologi Bandung dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bandung di kawasan karst Citatah pada Juli 1999. Saat itu, Budi Brahmantyo, Eko Yulianto, dan Johan Arif, berangan-angan menemukan fosil ikan di sana. Namun Eko malah mendapat batu gamping, seperti pisau, dan menduga pernah ada manusia prasejarah yang menempati lokasi itu. Dugaan itu berdasarkan ingatan mereka soal temuan artefak batu di hutan Dago Pakar oleh peneliti asing.
Fakta arkeologi sebelumnya tentang kerangka manusia prasejarah yang suka ditemukan di dalam gua. Budi teringat Gua Pawon yang lokasinya tak jauh. Namun, baru pada Oktober 1999, trio peneliti itu datang untuk pengamatan. Kunjungan berikut pada 2000, mereka mulai mencongkel tanah di beberapa tempat di dalam gua. Intuisi mereka muncul ketika berada di satu ruang di dalam gua yang tanahnya datar, tidak kering, tapi juga tidak lembap. Mereka menyebutnya sebagai Gua Kopi.
Selanjutnya, Eko meminjam alat geomagnet ke kantornya. Tanah di Gua Kopi seluas 3,5 x 7 meter itu mereka bagi menjadi kotak-kotak (grid) berukuran 50 sentimeter persegi kemudian dipindai. Ternyata hasilnya negatif logam, jadi ada kemungkinan terpendam benda non-metal.
Pada Desember 2000, berbekal izin ketua RT setempat yang juga ikut menggali, Budi, Eko, dan Sujatmiko menggali lubang seukuran 100 x 60 dengan kedalaman 50 sentimeter. Baru sekitar 10 sentimeter penggalian, tiba-tiba ada suatu benda mengkilap yang mencelat terkena pacul. Penggalian segera dihentikan. Tugas mereka mencari benda yang terlontar tersebut. Secuil potongan benda itu ternyata batu obsidian yang bentuknya seperti beling kaca. Padahal gua itu berada di wilayah karst. Mereka yakin, batu itu ada yang membawanya di masa lalu. Penggalian pun makin bersemangat. Hingga akhirnya terkumpul dua karung pecahan gerabah, alat batu, obsidian, jasper hijau, batu andesit, sisa tumbuhan, juga cangkang kemiri, siput, kepiting, serta rahang monyet.
Yang masih utuh di antaranya batuan andesit sebesar buah mangga yang dipakai manusia purba untuk menumbuk. Setelah para peneliti awal itu membentuk Kelompok Riset Cekungan Bandung pada 12 Desember 2000, penggalian selanjutnya diserahkan ke Balai Arkeologi. Budi yakin, alat dari batu obsidian itu mereka peroleh dari tempat yang jauh dari gua itu. Geolog itu mengatakan batuan tersebut diduga berasal dari daerah Nagrek yang berjarak sekitar 30 kilometer.
"Ada kemungkinan pabrik pembuatannya dulu di Dago Pakar, yang jauhnya 20 kilometer," katanya. Mereka kemungkinan telah bertransaksi dengan cara barter barang. Buktinya ada bekas hewan laut di situs itu. Adapun hewan darat bisa diburu dari sekitar gua yang dulunya dikelilingi rawa. Manusia purba leluasa mengintai karena letak gua cukup tinggi. Namun bagaimana seluruh bangunan gua itu dipakai untuk kegiatan sehari-hari, ritual, dan pemakaman, masih misteri.
Peneliti arkeologi masih berkutat menggali di sejumlah gua sekitar untuk menemukan petunjuk lain. Mereka belum bisa meneliti sekitar 37 gua lainnya di sekitar Pawon yang diduga menjadi rumah kelompok manusia prasejarah lain dan dulunya saling berhubungan. Gua Tanjung, yang diketahui menyisakan artefak dan tulang manusia, telah hancur ditambang. Para peneliti kini harus berpacu dengan izin penambangan di wilayah karst Citatah. ( tempo.co )
Blog : Surau Tingga || Judul : Beginilah Rumah Asli Orang Bandung Purba
Saya dukung, arahnya sudah benar. Coba cari yang lebih modern arahnya di G. Kidul, arag sungai bengawan solo purba. Sukses selalu.
BalasHapus