"Arwah leluhur tidak membolehkan ada listrik di rumah ini,” tutur Makahiti.
Sembari mengunyah pinang-sirih, pria yang mengenakan ikat kepala dari bahan kain warna merah itu menegaskan norma-norma sosial yang dianut oleh sekitar 30 keluarga dari komunitas adat di Desa Hoaulu, Kecamatan Seram Utara, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku, pekan lalu. Pria berusia lanjut ini lalu menunjuk leautu yang tergantung di salah satu tiang di bagian tengah rumah. Leautu berupa tiga kantong anyaman bambu dan sebuah benda tajam seperti golok, diyakini sebagai tempat arwah leluhur dan Tuhan mereka berada.
Saat panel-panel surya dipasang oleh pemerintah empat tahun lalu di 30 rumah panggung milik suku Hoaulu, dan mampu menerangi satu unit lampu di setiap rumah, Makahiti bersama warga Hoaulu lainnya memang meminta panel surya tidak dipasang di rumah Makahiti.
Keseharian di rumah itu pun tidak sama seperti di rumah- rumah lain. Perempuan tak boleh menyebut kata leautu atau mendekatinya. Jika itu dilakukan, dipercaya perempuan akan mengalami haid tanpa henti.
Kesakralan rumah itu masih dijaga oleh sedikitnya 50 keluarga Hoaulu yang bermukim di kawasan hutan di Taman Nasional Manusela di Pulau Seram, Kabupaten Maluku Tengah.
Hoaulu hanya bisa dicapai dengan berjalan kaki selama dua jam dari jalan trans-Seram, melintasi hutan dan Sungai Oni, sungai selebar sekitar 10 meter. Lokasi permukiman ini merupakan lokasi tempat tinggal mereka yang kelima. Suku Hoaulu masih termasuk suku nomaden dan akrab dengan ritual mengagungkan leluhur.
Meskipun sakral, keluarga Makahiti masih menjalankan rutinitas sehari-hari seperti keluarga lainnya. Ipatapale (35), putri Makahiti, masih mengolah sagu untuk makanan sehari-hari, mengangkut hasil bumi seperti buah langsa dengan saloi (kantong berbentuk kerucut terbalik yang terbuat dari anyaman bambu) di punggung, dan menangkap ikan di sungai dengan annisal (juga kantong dari anyaman bambu).
”Cucu Makahiti Ipatapale yang mau belajar malam hari juga masih bisa belajar meski belajar dengan temannya di rumah lain,” kata Ipatapale.
Ini hanya contoh kecil bagaimana suku Hoaulu mempertahankan hal-hal sakral saat mereka bersinggungan dengan modernisasi dan menjalani rutinitas di tengah hal-hal tabu yang tidak boleh mereka lakukan. Mereka memang tidak lagi memotong kepala orang, seperti yang biasa dilakukan orangtua mereka, sebagai tumbal untuk arwah leluhur.
”Kami taat pada hukum. Kalau bunuh orang, kami bisa masuk penjara,” ujar Limule (92), tetua adat lainnya.
Mereka pun tak lagi mengenakan kulit kayu sebagai pakaian sejak mereka mengenal baju dan celana. Namun, di luar itu, hal sakral yang merupakan bagian tradisi dan adat tidak mereka tinggalkan.
Dibangunnya sekolah dasar sejak dua tahun lalu membuat anak-anak Hoaulu bisa membaca, menulis, bahkan menghitung. Terjalinlah kontak lebih intens antara suku Hoaulu dan dunia luar, terutama saat mereka hendak menjual hasil buminya. Rampungnya jalan trans-Seram pada 2007 sama sekali tidak mengubah tatanan sosial mereka.
Perempuan yang sedang haid masih harus tinggal di rumah yang disebut liliposo, rumah berukuran sekitar 5 x 5 x 5 meter yang hampir semua bagiannya ditutup oleh bangkawang (atap daun sagu). Masyarakat Hoaulu juga masih mengandalkan ritual doa kepada arwah nenek moyang yang diiringi musik tifa untuk menyembuhkan penyakit meski petugas puskesmas kerap datang memeriksa kesehatan warga.
Ketika anak-anak Hoaulu beranjak dewasa dan harus mengenakan ikat merah di kepala, tradisi cidaku masih digelar. Tradisi sasi atau larangan pengambilan hasil bumi dalam waktu tertentu pun masih ditaati.
”Sasi untuk mencegah pengambilan hasil bumi sebelum waktunya dipanen,” kata Pilimalu, salah satu warga.
Tak kalah pentingnya, jalinan persaudaraan mereka pun tetap terjaga. Warga masih gotong royong saat ada keluarga baru yang membangun rumah. Kahua atau pesta adat selama tiga hari digelar saat pembangunan sudah tahap penutupan atap rumah dengan bangkawang.
Joris Lilimau (48), salah satu guru di SD Kecil Hoaulu melihat masyarakat Hoaulu tidak pernah resisten terhadap modernisasi. Persinggungan dengan dunia luar justru diharapkannya mampu membawa sukunya lepas dari keterisolasian.
Joris melihat keterisolasian ekonomi lebih karena mereka kesulitan menjual hasil bumi akibat tak ada akses jalan. Akibatnya, sering hasil bumi membusuk. Keterisolasian pendidikan terlihat dari belum adanya bantuan alat penunjang kegiatan belajar-mengajar sehingga pembelajaran tak maksimal.
Masuknya pendidikan berangsur menerangi budi generasi baru Hoaulu. Adapun adat sakral yang tetap tak diterangi lampu listrik tadi sesungguhnya tetaplah ”suluh” yang menuntun nurani warga Hoaulu. Inilah kekayaan budaya lokal kita.... ( kompas.com )
Blog : Surau Tingga || Judul : Kegelapan Yang Bertahan Dalam Kesakralan Leluhur.
sungguh kaya budaya indonesia sobat..
BalasHapusterima kasih sudah berbagi,,
salam persahabatan