Beberapa negara kini mulai melarang impor beberapa produk makanan asal Jepang. Sementara itu, perusahaan operator Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima Daiichi, Tokyo Electronic Power Co. (Tepco), berjuang memuaskan warga di sekitar PLTN.
Kebocoran nuklir di Fukushima telah membuat makanan produksi wilayah sekitar reaktor itu tercemar radioaktif. Radiasi dilaporkan telah mencemari ikan yang ditangkap dalam radius 80 km dari PLTN. Hal itu memaksa Jepang menerapkan pembatasan radiasi pada ikan tangkapan di wilayah dekat PLTN.
Daftar kekhawatiran dunia kepada produk makanan asal Jepang pun bertambah. Sejumlah negara sebelumnya memberlakukan ketat pengujian semua produk makanan asal negara ini, tak peduli dekat ataupun jauh dari lokasi PLTN. Diantaranya adalah China, Korea Selatan, Vietnam, Filipina dan Amerika Serikat.
Sebelumnya di negara-negara ini terdeteksi adanya kandungan radioaktif iodine-131 dengan kadar kecil. Walaupun kecil, namun pemerintah di negara-negara ini tak mau ambil resiko, mereka menerapkan peraturan ketat untuk impor makanan asal Jepang.
Tapi negara pertama memberlakukan pelarangan seluruhnya bagi semua produk makanan dari Jepang adalah India. Pada Selasa, 5 April 2011, pemerintah India menerapkan larangan impor semua jenis makanan tanpa kecuali yang berasal dari Jepang.
Menurut harian The Wall Street Journal, pemberlakuan larangan impor itu bisa diperpanjang hingga ada informasi kredibel, bahwa radiasi telah ditekan ke batas toleransi. India selama ini mengimpor sejumlah produk pangan buatan Jepang berupa makanan olahan berbahan ikan, buah-buahan, dan sayur.
Uni Eropa (UE) juga dilaporkan mulai lebih waspada atas berbagai produk makanan yang masuk ke negara anggotanya. Seperti dilaporkan di laman EU Oberserver, UE bersiap menerapkan batas radiasi ketat atas produk pangan Jepang, dan berbagai produk makanan ternak.
Penerapan ini diperkirakan akan disetujui oleh semua anggota UE pada Jumat, 8 April 2011. Jika disetujui, maka batasan radiasi bagi produk pangan adalah 2.000 becquerels per kilogram untuk kandungan iodine-131, dan 750 becquerels per kilogram untuk kandungan strontium-90.
Diantara berbagai produk yang dikhawatirkan terkandung kontaminasi radioaktif adalah produk susu, sayur, dan buah-buahan, terutama berasal dari daerah dekat PLTN Fukushima.
Indonesia tak terpengaruh?
Berbagai ketakutan dunia atas makanan asal Jepang sepertinya tidak berpengaruh terhadap aktivitas impor makanan Jepang ke Indonesia. Menteri Kesehatan, Endang Rahayu Sedyaningsih, pada Rabu, 6 April 2011, mengatakan makanan asal Jepang diperbolehkan masuk ke Indonesia asal punya sertifikat aman radiasi dari badan pengawas makanan Jepang.
"Setiap makanan Jepang yang diproduksi sesudah tanggal 11 Maret kita minta disertai sertifikat. Kalau mereka mengeluarkan sertifikatnya, maka makanan tersebut kita terima," ujar Sedyaningsih.
Sedyaningsih mengatakan pemerintah Indonesia mempercayakan sepenuhnya pengujian makanan oleh badan pengawas makanan Jepang. "Kami percaya (pengujian oleh Jepang), karena itu dilakukan berdasarkan standar internasional," ujarnya.
Dilaporkan, pengiriman produk makanan, yaitu bahan pengemulsi makanan, dari Jepang belum bersertifikat sedang dalam perjalanan menuju Indonesia. Tak tanggung-tanggung, jumlah pengemulsi makanan ini diperkirakan lebih dari 16 ton.
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Indonesia (BPOM), Kustantinah, sepertinya tak pusing. Dia mengatakan kiriman tersebut akan diambil contohnya oleh Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten), dan akan diujikan kandungan radiasinya oleh Badan tenaga Nuklir Nasional (Batan). "Sebelum mendapat hasil uji dari Batan, belum boleh digunakan dan diedarkan," ujar Kustantinah.
Dua bulan, Rp101,3 Triliun
Sementara dunia cemas oleh kontaminasi radiasi atas makanan asal Jepang, Tepco disibukkan puluhan ribu keluhan warga. Seperti dilansir dari laman CNN, pihak Tepco mengaku mendapat 40.000 keluhan masyarakat setiap harinya.
Tepco juga tengah dipusingkan tuntutan kompensasi dari para warga yang menderita akibat kerusakan pada reaktor di PLTN Fukushima. Mereka adalah ratusan ribu warga dari beberapa wilayah di radius 20 kilometer dari PLTN yang terpaksa dievakuasi karena ancaman radioaktif pasca ledakan reaktor.
Sejak 31 Maret lalu, Tepco dilaporkan telah membagikan uang kompensasi kepada warga di sepuluh kota yang terletak dekat dengan PLTN. Namun, salah satu kota, yaitu kota Namie, menolak menerima uang tersebut.
Penolakan bukannya tak beralasan. Kompensasi diberikan Tepco kepada seluruh penduduk kota Namie berjumlah sekitar 20.000 orang terbilang sangat kecil. Tepco tak memaparkan rincian jumlah kompensasi mereka berikan kepada warga, namun salah satu pegawai pemerintahan Namie, Kousei Negishi, mengatakan Tepco memberikan 20 juta yen atau sekitar Rp 2 miliar untuk penduduk Namie. Itu artinya setiap warga hanya memperoleh sekitar US$12 (Rp103.000).
Kompensasi ini, kata Tepco, adalah awal, dan bukan kompensasi pembayaran kerugian akibat krisis nuklir di PLTN Fukushima Daiichi. Tepco menjanjikan kompensasi lebih besar akan menyusul, setelah mereka selesai menghitung biaya kerugian masyarakat akibat krisis tersebut.
Menurut Bank Amerika, Merril Lynch, idealnya biaya kompensasi harus Tepco bayarkan kepada warga selama dua bulan masa pemulihan adalah sekitar 1 triliun yen (Rp101,3 triliun). Angka itu akan membengkak jika Tepco berlarut-larut dalam menyelesaikan krisis nuklir di Fukushima. Bank Merril Lynch melaporkan, kompensasi yang harus dibayarkan jika masa pemulihan hingga enam bulan adalah 2,4 sampai 3 triliun yen.
Jika masa pemulihan hingga masa dua tahun, maka kompensasi harus dikeluarkan Tepco untuk warga adalah 11 triliun yen, atau sekitar Rp1116 triliun. Angka ini empat kali lipat lebih besar daripada nilai ekuitas Tepco.
Biaya kompensasi dan pembangunan bagi warga dinilai sangat penting, karena selama mengungsi mereka tak dapat bekerja, dan tak dapat menjual hasil pangan akibat terkontaminasi radioaktif. Biaya kompensasi ini nantinya harus ditanggung para pemegang saham Tepco.
Kompensasi sebesar ini sepertinya akan sulit dibayarkan seiring dipertanyakannya kredibilitas Tepco sebagai perusahaan swasta penyedia energi nuklir. Harga saham perusahaan itu turun hingga 19 persen, menjadi 566 yen. Akibatnya, nilai pasar Tepco turun hingga US$30 miliar (Rp261 triliun) sejak bencana 11 Maret lalu.
Belum lagi, perusahaan itu dililit utang sebesar US$91 miliar (Rp786 triliun), ditambah hutang obligasi senilai US$64 miliar (Rp553 miliar). Jumlah itu masih diluar pinjaman asing sebesar US$24 miliar (Rp207 triliun).
Jika terus menurun nilainya, sepertinya rencana pemerintah untuk mengambilalih Tepco akan terlaksana. Opsi ini adalah salah satu opsi yang dikeluarkan segelintir anggota parlemen Diet Jepang setelah Tepco tak mampu mengatasi kerusakan PLTN, seperti dikutip dari laman Yomiuri.
"Kemungkinan akan ada berbagai perdebatan mengenai masalah nasionalisasi Tokyo Electric," ujar Menteri Strategi Nasional Jepang, Koichiro Gemba, kepada kantor berita Kyodo, pekan lalu. ( vivanews.com )
Blog : Surau Tingga || Judul : Kebocoran Radiasi Nuklir Jepang Semakin Tak Terkendali
Tidak ada komentar:
Posting Komentar